POLA HUNIAN
Lingkungan merupakan
faktor penentu manusia memilih lokasi permukiman. Oleh karena itu, manusia
memperhatikan kondisi lingkungan dan penguasaan teknologi. Terdapat beberapa
variabel yang berhubungan dengan kondisi lingkungan, antara lain:
1. 1. Tersedianya kebutuhan akan air, adanya
tempat berteduh, dan kondisi tanah yang tidak terlalu lembab,
2. 2. Tersedianya sumber daya makanan baik
berupa flora-fauna dan faktor-faktor yang memberikan kemudahan di dalam
cara-cara perolehannya (tempat untuk minum binatang, batas-batas topografi,
pola vegetasi),
3. 3. Faktor-faktor yang memberi
elemen-elemen tambahan akan binatang laut atau binatang air (dekat pantai,
danau, sungai, mata air) (Subroto,1995:133-138;Butzer,1984:14-21).
Kehidupan manusia
pada masa prasejarah tergantung pada lingkungan dan penguasaan teknologi.
Sumber-sumber subsistensi dari lingkungan ditambah dengan penguasaan teknologi
pada masa itu, mengakibatkan pola kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan.
Selain itu, manusia juga memanfaatkan bentukan alam untuk mempertahankan
hidupnya. Oleh karena itu, gua dan ceruk menjadi salah satu alternatif tempat
tinggal bagi manusia pada masa prasejarah (Nurani,1999:1-13).
Selain sumber daya
yang memadai, aspek-aspek fisik lingkungan merupakan faktor penting lainnya
yang menentukan kelayakan suatu lokasi untuk permukiman. Dalam kaitannya dengan
hunian gua, faktor-faktor tersebut meliputi morfologi dan dimensi tempat
hunian, sirkulasi udara, intensitas cahaya, kelembaban, kerataan dan kekeringan
tanah, dan kelonggaran dalam bergerak (Yuwono,2005).
Kawasan Gunung Sewu
merupakan daerah yang bercirikan ribuan bukit karst yang menampilkan sejarah
kehidupan manusia, setidaknya sejak kala Pleistosen Akhir hingga Holosen Awal.
Salah satu karakter budaya yang khas adalah pemanfataan gua dan ceruk secara
intensif. Ekskavasi yang telah dilakukan di sejumlah gua hunian prasejarah di
Gunungkidul memberikan gambaran adanya aktivitas pemanfaatan bahan baku yang
tidak berasal dari wilayah permukimannya. Beberapa temuan yang didapatkan di
gua-gua itu merupakan hasil dari daerah pantai, bukan dari daerah pedalaman,
seperti peralatan dan perhiasan dari cangkang kerang laut dan juga adanya
temuan hasil eksploitasi daerah pantai di situs-situs pedalaman tetapi belum
diketahui bagaimana temuan itu dapat sampai di pedalaman. Dari hasil barter
antara komunitas pantai dan pedalaman, atau hasil eksploitasi komunitas
pedalaman di daerah pantai. Dengan terungkapnya bagaimana hubungan itu terjadi
maka data tersebut berguna untuk memahami proses penghunian dan migrasi manusia
purba di Jawa dan Indonesia (Tanudirjo dkk,2003:1–2).
Data yang diperoleh
dari hasil survei penelitian pendahuluan di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul
yang dilakukan oleh Tim PTKA UGM pada tahun 2003 (Tanudirjo, dkk., 2003;
Yuwono, 2005: 40-51; lihat Peta 1) dan survei lanjutan oleh penulis pada tahun
2006 diketahui adanya 53 situs gua dan 23 diantaranya merupakan situs gua dan
ceruk yang potensial dijadikan hunian pada masa prasejarah. Dari hasil PTKA
tahun 2003 tersebut diketahui adanya pola spasial gua dan ceruknya, terdiri
atas tiga kelompok yaitu daerah pesisir, daerah pedalaman, dan daerah ‘antara’.
Namun dari penelitian tersebut tipe hunian gua dan ceruk tersebut belum
diketahui, gua untuk hunian sementara atau atau hunian menetap.
Sejarah api pertama kali ditemukan
Dalam sejarah banyak
sekali penemuan-penemuan yang sangat membantu bagi kehidupan kita, dan hampir
setiap penemuan dalam sejarah bisa merubah kehidupan umat manusia hingga dunia.
Salah satunya adalah api, sedikit aneh memang kalau kita membicarakan tentang
api, namun api yang kita pergunakan memang merubah bagi kehidupan, dan kita
juga harus tahu sejarah pertama kali api itu ditemukan di dunia ini. Api sangat
dibutuhkan bagi kelangsungan hidup manusia walau kadang api ini menimbulkan
masalah. Tergantung seperti apa api itu kita gunakan, ada pepatah mengatakan
"kecil jadi kawan dan besar jadi lawan". Manfaat api memang sudah
bisa kita rasakan dalam kehidupan seperti untuk penerangan, memasak, menghangatkan
tubuh dan lain sebagainya.
Dan terkadang kita
bertanya-tanya bagaimana api mula-mula ditemukan dan siapa penemunya?, Api atau
energi panas yang pada awalnya bisa kita dapatkan dengan membenturkan dua buah
batu atau dengan mmenggesekan dua buah kayu, sehingga akan menimbulkan percikan
api yang kemudian bisa kita gunakan pada ranting kering atau daun kering yang
kemudian bisa menjadi sebuah api. Pertama kali api dikenal adalah pada zaman
purba yang secara tidak sengaja mereka melihat petir yaitu cahaya panas
dilangit yang menyambar pohon-pohon disekitarnya, sehingga api itu pun muncul
membakar pohon-pohon itu. Mulai dari situ lah peradaban mulai berubah, para
manusia purba itu pun baru mengenal api untuk memasak, penerangan dan yang
lainnya.
SISTEM
KEPERCAYAAN
Pada saat itu
masyarakat sudah mengenal kepercayaan pada tingkat awal. Mereka yakin bahwa ada
hubungan antara orang yang sudah meninggal dan yang masih hidup. Mereka telah
mengenal kepercayaan sistem penguburan sebagai bukti penghormatan terakhir
kepada orang yang meninggal. Hal ini terbukti dengan didirikan kuburan sebagai
bukti penghormatan terakhir pada orang yang meninggal Hal ini menunjukkan bahwa
telah muncul kepercayaan pada masa berburu dan meramu. Dengan penguburan
berarti telah muncul konsep kepercayaan tentang adanya hubungan antara orang
yang sudah meninggal dengan yang masih hidup.
Kepercayaan terhadap
roh inilah dikenal dengan istilah Aninisme. Aninisme berasal dari kata Anima
artinya jiwa atau roh, sedangkan isme artinya paham atau kepercayaan. Di
samping adanya kepercayaan animisme, juga terdapat kepercayaan Dinamisme. Dinamisme
adalah kepercayaan terhadap benda-benda tertentu yang dianggap memiliki
kekuatan gaib. Contohnya yaitu kapak yang dibuat dari batu chalcedon (batu
indah) dianggap memiliki kekuatan.
Manusia purba di Indonesia pada masa ini diperkirakan sudah mengenal bahwa jenazah manusia itu harus dikubur. Kesadaraan akan adanya kekuatan gaib di luar perhitungan manusia. Itulah yang menjadi dasar kepercayaan.
Bangsa Proto Melayu dan Bangsa Deutero
Melayu
a. A. Bangsa Proto Melayu (Bangsa Melayu Tua)
Kira-kira pada tahun 1500 SM bangsa Proto Melayu masuk ke Indonesia. Bangsa Proto Melayu memasuki Indonesia melalui dua jalur/jalan, yakni jalan barat, yaitu melalui Malaya - Sumatra dan jalan timur, yaitu melalui Pilipina - Sulawesi Utara. Bangsa Proto Melayu memiliki kebudayaan yang
setingkat lebih tinggi daripada kebudayaan Homo Sapiens Indonesia. Kebudayaan
mereka adalah kebudayan batu-baru atau Neolitikum (neo = baru, lithos = batu).
Meskipun barang-barang hasil kebudayaan mereka masih terbuat dari batu, tetapi
telah dikerjakan dengan baik. Barang-barang hasil kebudayaan yang terkenal ialah kapak persegi dan kapak lonjong.
Kebudayaan kapak persegi dibawa oleh bangsa Proto Melayu yang melalui jalan barat, sedangkan kebudayaan kapak lonjong dibawa melalui jalan timur. Bangsa Proto Melayu akhirnya terdesak dan bercampur dengan bangsa Deutero Melayu yang kemudian menyusul masuk ke Indonesia.
Bangsa Indonesia sekarang yang termasuk keturunan bangsa Proto Melayu, misalnya suku bangsa Batak, Dayak, dan Toraja.
B. Bangsa Deutero Melayu (Bangsa Melayu Muda)
Kira-kira tahun 500 SM, nenek moyang kita gelombang ke dua mulai memasuki Indonesia. Bangsa Deutero Melayu memasuki Indonesia melalui satu jalan saja, yaitu jalan barat (yakni melalui Malaya-Sumatera). Menurut N. Daldjoeni (1984), bangsa Deutero Melayu atau Melayu Muda ini berasal dari Dongson di Vietnam Utara, sehingga mereka ini kadang kala disebut orang-orang Dongson. Mereka telah memiliki kebudayaan yang lebih tinggi daripada bangsa Proto Melayu.
Peradaban mereka ditandai dengan kemampuan mengerjakan logam dengan
sempurna. Barang-barang hasil kebudayaan mereka telah terbuat dari logam.
Mula-mula dari perunggu dan kemudian dari besi. Hasil kebudayaan logam di
Indonesia yang terpenting ialah kapak corong atau kapak sepatu dan nekara. Di
bidang pengolahantanah, mereka telah sampai pada usaha irigasi atas tanah-tanah pertanian
yang berhasil mereka wujudkan, yakni dengan membabad hutan terlebih dahulu.
Sudah selayaknya mereka mencari daerah-daerah seperti di Jawa dan pantai-pantai Sumatra untuk digarap seperti di negeri asal mereka. Mereka juga telah mengenal perikanan laut dan pelayaran, sehingga rute perpindahan ke Nusantara juga memanfaatkan jalan laut. Bangsa Indonesia sekarang yang termasuk keturunan bangsa Deutero Melayu, misalnya suku bangsa Jawa, Madura, Menado dan Melayu (Sumatra, Kalimantan dan Malaka). Selanjutnya berdasarkan perbedaan ras, manusia ( penduduk ) Indonesia awal paling tidak ada 4 (empat) ras, yaitu Manusia Purba, Ras Weddid (Wedda), Ras Papua - Melanesoida (Negrito), dan Ras Melayu (Austronesia).