a. Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno
Pada abad ke-8 di pedalaman Jawa Tengah berdiri
Kerajaan Mataram Hindu. Pendirinya adalah Raja Sanjaya. Munculnya Kerajaan
Mataram diterangkan dalam Carita Parahyangan. Kisahnya adalah dahulu ada sebuah
kerajaan di Jawa Barat bernama Galuh.
Rajanya bernama Sanna (Sena). Suatu ketika, ia
diserang oleh saudaranya yang menghendaki takhta. Raja Sanna meninggal dalam
peristiwa tersebut, sementara saudara perempuannya, Sannaha, bersama keluarga
raja yang lainnya berhasil melarikan diri ke lereng Gunung Merapi.
Anak Sannaha, Sanjaya, di kemudian hari mendirikan
Kerajaan Mataram dengan ibu kota Medang ri Poh Pitu. Tepatnya pada tahun 717 M.
b. Bukti-bukti sejarah Kerajaan Mataram Kuno
Bukti lain mengenai keberadaan Kerajaan Mataram
Hindu atau sering juga disebut Mataram Kuno adalah prasasti Canggal
yang dikeluarkan oleh Sanjaya. Prasasti ini berangka tahun Cruti
Indria Rasa atau 654 Saka (1 Saka sama dengan 78 Masehi, berarti 654
Saka sama dengan 732 M), hurufnya Pallawa, bahasanya Sanskerta,
dan letaknya di Gunung Wukir, sebelah selatan Muntilan.
Isinya adalah pada tahun tersebut Sanjaya
mendirikan lingga di Bukit Stirangga untuk keselamatan rakyatnya dan pemujaan
terhadap Syiwa, Brahma, dan Wisnu, di daerah suci Kunjarakunja.
Menurut para ahli sejarah, yang dimaksud Bukit Stirangga adalah Gunung
Wukir dan yang dimaksud Kunjarakunja adalah Sleman (kunjara = gajah =
leman; kunja = hutan). Lingga adalah simbol yang menggambarkan kekuasaan,
kekuatan, pemerintahan, lakilaki, dan dewa Syiwa.
c. Pemerintahan wangsa Sanjaya
Raja-raja wangsa Sanjaya, seperti dimuat dalam
prasasti Mantyasih (Kedu), sebagai berikut.
1) Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717 – 746 M)
Raja ini adalah pendiri Kerajaan Mataram sekaligus
pendiri wangsa Sanjaya. Setelah wafat, ia digantikan oleh Rakai
Panangkaran.
2) Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746 – 784 M)
Dalam prasasti Kalasan (778 M) diceritakan bahwa Rakai
Panangkaran (yang dipersamakan dengan Panamkaran Pancapana) mendirikan
candi Kalasan untuk memuja Dewi Tara, istri Bodhisatwa Gautama, dan candi
Sari untuk dijadikan wihara bagi umat Buddha atas permintaan Raja Wisnu
dari dinasti Syailendra.
Ini menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan raja
ini datanglah dinasti Syailendra dipimpin rajanya, Bhanu (yang kemudian
digantikan Wisnu), dan menyerang wangsa Sanjaya hingga melarikan diri ke
Dieng, Wonosobo. Selain itu, Raja Panangkaran juga dipaksa mengubah kepercayaannya
dari Hindu ke Buddha. Adapun penerus wangsa Sanjaya setelah Panangkaran
tetap beragama Hindu.
3) Sri Maharaja Rakai Panunggalan (784 – 803 M)
4) Sri Maharaja Rakai Warak (803 – 827 M)
Dua raja ini tidak memiliki peran yang berarti,
mungkin karena kurang cakap dalam memerintah sehingga dimanfaatkan oleh
dinasti Syailendra untuk berkuasa atas Mataram. Setelah Raja Warak turun
takhta sebenarnya sempat digantikan seorang raja wanita, yaitu Dyah Gula
(827 – 828 M), namun karena kedudukannya hanya bersifat sementara maka
jarang ada sumber sejarah yang mengungkap peranannya atas Mataram Hindu.
5) Sri Maharaja Rakai Garung (828 – 847 M)
Raja ini beristana di Dieng, Wonosobo. Ia mengeluarkan
prasasti Pengging (819 M) di mana nama Garung disamakan dengan Patapan
Puplar (mengenai Patapan Puplar diceritakan dalam prasasti Karang Tengah –
Gondosuli).
6) Sri Maharaja Rakai Pikatan (847 – 855 M)
Raja Pikatan berusaha keras mengangkat kembali
kejayaan wangsa Sanjaya dalam masa pemerintahannya. Ia menggunakan nama
Kumbhayoni dan Jatiningrat (Agastya). Beberapa sumber sejarah yang
menyebutkan nama Pikatan sebagai berikut.
a) Prasasti Perot, berangka tahun 850 M, menyebutkan
bahwa Pikatan adalah raja yang sebelumnya bergelar Patapan.
b) Prasasti Argopuro yang dikeluarkan Kayuwangi pada
tahun 864 M.
c) Tulisan pada sebelah kanan dan kiri pintu masuk
candi Plaosan menyebutkan nama Sri Maharaja Rakai Pikatan dan Sri
Kahulunan.
Diduga tulisan tersebut merupakan catatan
perkawinan antara Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan. Sri Kahulunan diduga
adalah Pramodhawardhani, putri Samaratungga, dari dinasti Syailendra.
Mengenai pernikahan mereka dikisahkan kembali dalam prasasti Karang
Tengah.
Rakai Pikatan sendiri mengeluarkan
tiga prasasti berikut.
1) Prasasti Pereng (862 M), isinya mengenai
penghormatan kepada Syiwa dan
penghormatan kepada Kumbhayoni.
2) Prasasti Code D 28, berangka tahun Wulung Gunung
Sang Wiku atau 778 Saka (856 M). Isinya adalah
(1) Jatiningrat (Pikatan) menyerahkan kekuasaan kepada
putranya, Lokapala (Kayuwangi dalam prasasti Kedu);
(2) Pikatan mendirikan bangunan Syiwalaya (candi
Syiwa), yang dimaksud adalah candi Prambanan;
(3) kisah peperangan antara Walaputra (Balaputradewa)
melawan Jatiningrat (Pikatan) di mana Walaputra kalah dan lari ke Ungaran
(Ratu Boko).
3) Prasasti Ratu Boko, berisi kisah pendirian tiga
lingga sebagai tanda kemenangan.
Ketiga lingga yang dimaksud adalah Krttivasa Lingga
(Syiwa sebagai petapa berpakaian kulit harimau), Tryambaka Lingga (Syiwa
menghancurkan benteng Tripura yang dibuat raksasa), dan Hara Lingga (Syiwa
sebagai dewa tertinggi atau paling berkuasa).
Sebagai raja, Pikatan berusaha menguasai seluruh Jawa
Tengah, namun harus menghadapi wangsa Syailendra yang saat itu menjadi
penguasa Mataram Buddha. Untuk itu, Pikatan menggunakan taktik menikahi
Pramodhawardhani, putri Samaratungga, Raja Mataram dari dinasti
Syailendra. Pernikahan ini memicu peperangan dengan Balaputradewa yang
merasa berhak atas tahta Mataram sebagai putra Samaratungga. Balaputradewa
kalah dan Rakai Pikatan menyatukan kembali kekuasaan Mataram di Jawa
Tengah.
7) Sri Maharaja Kayuwangi (855 – 885 M)
Nama lain Sri Maharaja Kayuwangi adalah Lokapala. Ia
mengeluarkan, antara lain, tiga prasasti berikut.
a) Prasasti Ngabean (879 M), ditemukan dekat Magelang.
Prasasti ini terbuat dari tembaga.
b) Prasasti Surabaya, menyebutkan gelar
Sajanotsawattungga untuk Kayuwangi.
c) Prasasti Argopuro (863 M), menyebutkan Rakai
Pikatan pu Manuku berdampingan dengan nama Kayuwangi.
Dalam pemerintahannya, Kayuwangi dibantu oleh dewan
penasihat merangkap staf pelaksana yang terdiri atas lima orang patih.
Dewan penasihat ini diketuai seorang mahapatih.
8) Sri Maharaja Watuhumalang (894 – 898 M)
Masa pemerintahan Kayuwangi dan penerus-penerusnya
sampai masa pemerintahan Dyah Balitung dipenuhi peperangan perebutan
kekuasaan. Itu sebabnya, setelah Kayuwangi turun takhta, penggantinya
tidak ada yang bertahan lama.
Di antara raja-raja yang memerintah antara masa
Kayuwangi dan Dyah Balitung yang tercatat dalam prasasti Kedu adalah Sri
Maharaja Watuhumalang. Raja-raja sebelumnya, yaitu Dyah Taguras (885 M),
Dyah Derendra (885 – 887 M), dan Rakai Gurunwangi (887 M) tidak tercatat
dalam prasasti tersebut mungkin karena masa pemerintahannya terlalu
singkat atau karena Balitung sendiri tidak mau mengakui kekuasaan mereka.
9) Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung (898 – 913 M)
Raja ini dikenal sebagai raja Mataram yang
terbesar. Ialah yang berhasil mempersatukan kembali Mataram dan
memperluas kekuasaan dari Jawa Tengah sampai ke Jawa Timur. Dyah
Balitung menggunakan beberapa nama:
a) Balitung Uttunggadewa (tercantum dalam prasasti
Penampihan),
b) Rakai Watukura Dyah Balitung (tercantum dalam kitab
Negarakertagama),
c) Dharmodaya Mahacambhu (tercantum dalam prasasti
Kedu), dan
d) Rakai Galuh atau Rakai Halu (tercantum dalam
prasasti Surabaya).
Prasasti-prasasti yang penting dari Balitung sebagai
berikut.
a) Prasasti Penampihan di Kediri (898 M).
b) Prasasti Wonogiri (903 M).
c) Prasasti Mantyasih di Kedu (907 M).
d) Prasasti Djedung di Surabaya (910 M).
Sebenarnya, Balitung bukan pewaris takhta Kerajaan
Mataram. Ia dapat naik takhta karena kegagahberaniannya dan karena
perkawinannya dengan putri Raja Mataram. Selama masa pemerintahannya,
Balitung sangat memerhatikan kesejahteraan rakyat, terutama dalam hal mata
pencaharian, yaitu bercocok tanam, sehingga rakyat sangat menghormatinya.
Tiga jabatan penting yang berlaku pada masa
pemerintahan Balitung adalah Rakryan i Hino (pejabat tertinggi di bawah
raja), Rakryan i Halu, dan Rakryan i Sirikan. Ketiga jabatan itu merupakan
tritunggal dan terus dipakai hingga zaman Kerajaan Majapahit.
Balitung digantikan oleh Sri Maharaja Daksa dan
diteruskan oleh Sri Maharaja Tulodhong dan Sri Maharaja Wana. Namun,
ketiga raja ini sangat lemah sehingga berakhirlah kekuasaan dinasti
Sanjaya.
d. Pemerintahan dinasti Syailendra (Mataram Kuno)
Ketika Mataram diperintah oleh Panangkaran (wangsa
Sanjaya), datanglah dinasti Syailendra ke Jawa. Ada beberapa pendapat
mengenai asal-usul dinasti Syailendra ini. Dr. Majumdar, Nilakanta Sastri,
dan Ir. Moens berpendapat bahwa dinasti Syailendra berasal dari India.
Adapun Coedes berpendapat bahwa dinasti Syailendra berasal dari Funan.
Dinasti ini lalu berhasil mendesak wangsa Sanjaya
menyingkir ke Pegunungan Dieng, Wonosobo, di wilayah Jawa Tengah bagian
utara. Di sanalah wangsa Sanjaya kemudian memerintah. Sementara itu,
dinasti Syailendra mendirikan Kerajaan Syailendra (Mataram Buddha) di
wilayah sekitar Yogyakarta dan menguasai Jawa Tengah bagian selatan.
Sumber-sumber sejarah mengenai keberadaan dinasti
Syailendra sebagai berikut.
1) Prasasti Kalasan (778 M)
2) Prasasti Kelurak (782 M)
3) Prasasti Ratu Boko (856 M)
4) Prasasti Nalanda (860 M)
Raja-raja dinasti Syailendra sebagai berikut.
1) Bhanu (752 – 775 M)
Bhanu berarti matahari. Ia adalah raja Syailendra yang
pertama. Namanya disebutkan dalam prasasti yang ditemukan di Plumpungan
(752 M), dekat Salatiga.
2) Wisnu (775 – 782 M)
Nama Wisnu disebutkan dalam beberapa prasasti.
a) Prasasti Ligor B menyebutkan nama Wisnu yang
dipersamakan dengan matahari, bulan, dan dewa Kama. Disebutkan pula gelar
yang diberikan kepada Wisnu, yaitu Syailendravamsaprabhunigadata Sri
Maharaja, artinya pembunuh musuh yang gagah berani.
b) Prasasti Kalasan (778 M) menyebutkan desakan
dinasti Syailendra terhadap Panangkaran.
c) Prasasti Ratu Boko (778 M) menyebutkan nama Raja
Dharmatunggasraya.
3) Indra (782 – 812 M)
Raja Indra mengeluarkan prasasti Kelurak (782 M) yang
menyebutkan pendirian patung Boddhisatwa Manjusri, yang mencakup Triratna
(candi Lumbung), Vajradhatu (candi Sewu), dan Trimurti (candi Roro
Jongrang). Setelah wafat, Raja Indra dimakamkan di candi Pawon. Nama lain
candi ini adalah candi Brajanala atau Wrajanala. Wrajanala artinya petir
yang menjadi senjata dewa Indra.
4) Samaratungga (812 – 832 M)
Raja ini adalah raja terakhir keturunan Syailendra
yang memerintah di Mataram. Ia mengeluarkan prasasti Karang Tengah yang
berangka tahun Rasa Segara Krtidhasa atau 746 Saka (824 M). Dalam prasasti
tersebut disebutkan nama Samaratungga dan putrinya, Pramodhawardhani.
Disebutkan pula mengenai pendirian bangunan Jimalaya (candi Prambanan)
oleh Pramodhawardhani.
Nama Samaratungga juga disebutkan dalam prasasti
Nalanda (860 M) yang menceritakan pendirian biara di Nalanda pada masa
pemerintahan Raja Dewapaladewa (Kerajaan Pala, India). Pada masa
pemerintahannya, Samaratungga membangun candi Borobudur yang merupakan
candi besar agama Buddha. Samaratungga kemudian digantikan oleh Rakai
Pikatan, suami Pramodhawardhani yang berasal dari wangsa Sanjaya.
Kembalilah kekuasaan wangsa Sanjaya atas Mataram Kuno sepenuhnya.
e. Kehidupan ekonomi Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno merupakan negara agraris yang
bersifat tertutup. Akibatnya, kerajaan ini sulit berkembang secara
ekonomi, terutama karena segi perdagangan dan pelayaran sangat kering.
Kejayaan baru diperoleh pada masa pemerintahan Balitung. Ia membangun
pusat perdagangan seperti disebutkan dalam prasasti Purworejo (900 M).
Dalam prasasti Wonogiri (903 M) diterangkan bahwa desa-desa yang terletak
di kanan-kiri Sungai Bengawan Solo dibebaskan dari pajak dengan syarat
penduduk desa tersebut harus menjamin kelancaran hubungan lalu
lintas melalui sungai.
f. Kehidupan kebudayaan Kerajaan Mataram Kuno
Ketika wangsa Sanjaya menyingkir ke Pegunungan Dieng
sejak masa Panangkaran hingga Rakai Pikatan, banyak didirikan candi yang
kini dikenal sebagai kompleks candi Dieng. Kompleks candi ini, antara
lain, terdiri atas candi Bimo, Puntadewa, Arjuna, dan Nakula. Adapun di
Jawa Tengah bagian selatan ditemukan candi Prambanan (Roro Jonggrang),
Sambi Sari, Ratu Boko, dan Gedung Songo (Ungaran) sebagai hasil budaya
Mataram Kuno.
A.
PENINGGALAN DINASTI SANJAYA
Dinasti Sanjaya bercorak Hindu berpusat di
Jawa Tengah bagian utara. Berikut adalah peninggalan bangunan dari dinasti (
Wangsa ) Sanjaya.
1.
Candi Prambanan
Candi Prambanan atau Candi
Rara Jonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad
ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli
kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasasansekerta yang bermakna: 'Rumah
Siwa'), dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini
bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa di
candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.
Candi ini terletak
di desa Prambanan, pulau Jawa, kurang lebih 20
kilometer timur Yogyakarta, 40 kilometer barat Surakarta dan 120 kilometer
selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi Rara
Jonggrang terletak di desa Prambanan yang wilayahnya dibagi antara kabupaten Sleman dan Klaten.
Candi ini adalah
termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di Indonesia,
sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini
berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan
candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang
di tengah kompleks gugusan candi-candi yang lebih kecil. Sebagai salah satu
candi termegah di Asia Tenggara, candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan
wisatawan dari seluruh dunia
Menurut prasasti
Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi oleh Rakai Pikatan, dan terus
dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu, di masa kerajaan Medang Mataram.
2. Candi Gedong Songo
Candi Gedong Songo adalah nama
sebuah komplek bangunan candi peninggalan
budaya Hindu yang terletak di desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di kompleks
candi ini terdapat sembilan buah candi.
Candi ini
diketemukan oleh Raffles pada tahun 1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu
dari zaman Wangsa Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi).
Candi ini memiliki
persamaan dengan kompleks Candi
Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada
ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini
cukup dingin (berkisar antara 19-27 °C).
3. Candi Dieng
Candi Dieng
merupakan kumpulan candi yang terletak di kaki pegunungan Dieng,Wonosobo, Jawa
tengah. Kawasan Candi Dieng menempati dataran pada ketinggian 2000 m di atas
permukaan laut, memanjang arah utara-selatan sekitar 1900 m dengan lebar
sepanjang 800 m.
Kumpulan candi
Hindu beraliran Syiwa yang diperkirakan dibangun antara akhir abad ke-8 sampai
awal abad ke-9 ini diduga merupakan candi tertua di Jawa. Sampai saat ini belum
ditemukan informasi tertulis tentang sejarah Candi Dieng, namun para ahli
memperkirakan bahwa kumpulan candi ini dibangun atas perintah raja-raja dari
Wangsa Sanjaya. Di kawasan Dieng ini ditemukan sebuah prasasti berangka
tahun 808 M, yang merupakan prasasti tertua bertuliskan huruf Jawa kuno, yang
masih masih ada hingga saat ini. Sebuah Arca Syiwa yang ditemukan di kawasan
ini sekarang tersimpan di Museum Nasional di Jakarta. Pembangunan Candi Dieng
diperkirakan berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama yang berlangsung antara
akhir abad ke-7 sampai dengan perempat pertama abad ke-8, meliputi pembangunan
Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi dan Candi Gatutkaca. Tahap kedua
merupakan kelanjutan dari tahap pertama, yang berlangsung samapi sekitar tahun
780 M.
4. Candi Pringapus
Candi Pringapus
dibangun pada tahun tahun 772 C atau 850 Masehi
menurut prasasti yang ditemukan di sekitar candi ketika diadakan restorasi pada
tahun 1932. Candi ini merupakan Replika Mahameru, nama sebuah gunung tempat
tinggal para dewata. Hal ini terbukti dengan adanya adanya hiasan Antefiq dan
Relief Hapsara-hapsari yang menggambarkan makhluk setengah dewa. Candi
Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis. Hal ini terlihat dari adanya
arca-arca bersifat Hindu yang erat kaitannya dengan Dewa Siwa. Sebagaimana
lazimnya candi-candi Hindu yang memanifestasikan Siwa, posisi candi dan letak
arca-arcanya selalu menjadi ciri khas yang memperhatikan penjuru mata angin.
Pintu utama candi menghadap ke timur, dan dikanan-kirinya dijaga Kala dan Nandi. Kala adalah anak
Siwa yang lahir dari persatuan antara Siwa dengan kekuatan alam yang dahsyat.
Kala lahir sebagai raksasa sakti yang dapat mengalahkan semua dewa. Sedangkan
Nandi adalah lembu putih kendaraan Siwa, sehingga dalam satu perwujudannya Siwa
disebut Nandi Cwara.
Pada bagian lain
terdapat Durga Mahesasuramardhini. Durga merupakan
salah satu perwujudan Uma sebagai dewi
cantik dengan berbagai macam senjata anugerah dewa. Sebagai Durga, Uma menurut
legenda berhasil mengalahkan raksasa sakti berwujud kerbau yang mengganggu para
Brahmana. Di dalam candi juga terdapat Yoni yaitu salah
satu perwujudan Uma (Istri Siwa) yang berfungsi sebagai alas arca Siwa atau
perwujudannya (biasanya Lingga) persatuan lingga dan Yoni merupakan simbol
penciptaan alam semesta sekaligus simbol kesuburan. Sebagai saksi kebesaran
sejarah masa silam, hal lain yang menarik dari Candi Pringapus adalah hiasa
Kala berdagu seperti Kala tipe Jawa Timur.
5.
Candi Selogriyo
Lokasi :
Candi Selogriyo berada di lereng Timur kumpulan tiga bukit yakni Bukit Condong, Giyanti dan Malang di Ds.Campur Rejo,Kec.Windusari, Kab.Magelang.
Candi Selogriyo berada di lereng Timur kumpulan tiga bukit yakni Bukit Condong, Giyanti dan Malang di Ds.Campur Rejo,Kec.Windusari, Kab.Magelang.
Sejarah :
Candi Selogriyo adalah peninggalan masa Hindu
sekitar abad ke-9 yang antara lain ditandai arah hadap pintu ke Timur, adanya
arca Ganesha, Durga, Agastya di candi tersebut.Candi ini ditemukan dalam
keadaan runtuh dan direkonstruksi menjadi bentuk seperti sekarang ini. Candi
ini pernah direkonstruksi ulang setelah mengalami kerusakan parah akibat
longsor pada 31 Desember 1998.
B.
PENINGGALAN DINASTI SYAILENDRA
Dinasti Syailendra yang bercorak Buddha
mengembangkan berpusat di Jawa Tengah bagian selatan. Berikut adalah
Peninggalan Bangunan Dari Dinasti Syailendra
1.
Candi Ngawen
Candi Ngawen adalah
candi Buddha yang berada kira-kira 5
km sebelum candi Mendut dari arah Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen,
kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Menurut
perkiraan, candi ini dibangun oleh wangsa Sailendra pada abad ke-8 pada
zaman Kerajaan Mataram Kuno. Menurut Soekmono keberadaan candi Ngawen
ini kemungkinan besar adalah bangunan suci yang tersebut dalam prasasti Karang Tengah pada tahun
824 M, yaitu Venuvana (Sanskerta: 'Hutan Bambu').
Candi ini terdiri
dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan
dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan
posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada
salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi
candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.
2. Candi Mendut
Candi
Mendut didirikan oleh Raja Indra, raja pertama Sailendra. Candi ini ditengarai
lebih tua dibandingkan Candi Borobudur. Bentuknya persegi empat. Candi yang
memiliki pintu masuk dan ruangan ini memiliki tiga buah arca. Tiga buah arca
yang berada di dalam ruangan candi ini diberi nama Buddha Cakyamurti,
Avalokiteswara Sang Bodhisatva, dan Maitreya Sang Bodhisatva. Seperti halnya
Candi Borobudur, Candi Mendut juga menjadi tempat spesial pada perayaan Hari
Raya Waisak.
3. Candi Pawon
Candi
Pawon adalah
nama sebuah candi. Candi Pawon
dipugar tahun 1903. Nama Candi Pawon
tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. J.G. de Casparis menafsirkan bahwa Pawon
berasal dari bahasa Jawa Awu yang
berarti abu, mendapat awalan pa dan akhiran an yang
menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon
berarti dapur, akan tetapi De Casparis mengartikan perabuan.
Penduduk setempat juga menyebutkan candi Pawon dengan nama Bajranalan. Kata ini
mungkin berasal dari kata bahasa Sanskerta vajra =
"halilintar" dananala yang berarti "api".
Di dalam bilik
candi ini sudah tidak ditemukan lagi arca sehingga
sulit untuk mengidentifikasikannya lebih jauh. Suatu hal yang menarik dari
Candi Pawon ini adalah ragam hiasnya. Dinding-dinding luar candi dihias dengan
relief pohon hayati (kalpataru) yang diapit pundi-pundi
dan kinara-kinari(mahluk setengah manusia setengah burung/berkepala
manusia berbadan burung). Letak Candi Pawon ini berada di antara candi Mendut dan candi Borobudur, tepat berjarak
1750 meter dari candi Borobudur dan
1150 m dari Candi Mendut.
4. Candi Kalasan
Nama lain dari candi ini adalah Kalabening.
Estimasi pendiri candi ini adalah Raja Panangkaran, penguasa kedua Kerajaan
Mataram Hindu. Menurut Prasasti Kalasan (angka tahun 778), guru sang raja
berhasil membujuk Maharaja Tejahpura Panangkarana yang merupakan mustika
keluarga Sailendra (Sailendra Wamsatilaka) untuk mendirikan bangunan suci bagi
dewa Tara.
makasih buat informasiny
BalasHapus