Rabu, 06 Agustus 2014

KERAJAAN SINGASARI DAN PENINGGALANNYA


KERAJAAN SINGASARI

Kerajaan Singasari adalah sebuah kerajaan Hindu Buddha di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan di daerah Singosari, Malang. Kerajaan Singasari hanya sempat bertahan 70 tahun sebelum mengalami keruntuhan. Kerajaan ini beribu kota di Tumapel yang terletak di kawasan bernama Kutaraja. Pada awalnya, Tumapel hanyalah sebuah wilayah kabupaten yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Kadiri dengan bupati bernama Tunggul Ametung. Tunggul Ametung dibunuh oleh Ken Arok yang merupakan pengawalnya.
Keberadaan Kerajaan Singosari dibuktikan melalui candi-candi yang banyak ditemukan di Jawa Timur yaitu daerah Singosari sampai Malang, juga melalui kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang berjudul Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan tentang raja-raja yang memerintah di Singosari serta kitab Pararaton yang juga menceritakan riwayat Ken Arok yang penuh keajaiban. Kitab Pararaton isinya sebagian besar adalah mitos atau dongeng tetapi dari kitab Pararatonlah asal usul Ken Arok menjadi raja dapat diketahui. Sebelum menjadi raja, Ken Arok berkedudukan sebagai Akuwu (Bupati) di Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya, karena tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan melepaskan Tumapel dari kekuasaan kerajaan Kadiri yang diperintah oleh Kertajaya. Keinginannya terpenuhi setelah kaum Brahmana Kadiri meminta perlindungannya. Dengan alasan tersebut, maka tahun 1222 M /1144 C Ken Arok menyerang Kediri, sehingga Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di desa Ganter. Ken Arok yang mengangkat dirinya sebagai raja Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.
A. SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN SINGASARI
Ada dua versi yang menyebutkan silsilah kerajaan Singasari alias Tumapel ini. Versi pertama adalah versi Pararaton yang informasinya didapat dari Prasasti Kudadu. Pararaton menyebutkan Ken Arok adalah pendiri Kerajaan Singasari yang digantikan oleh Anusapati (1247–1249 M). Anusapati diganti oleh Tohjaya (1249–1250 M), yang diteruskan oleh Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250–1272 M). Terakhir adalah Kertanegara yang memerintah sejak 1272 hingga 1292 M. Sementara pada versi Negarakretagama, raja pertama Kerajaan Singasari adalah Rangga Rajasa Sang Girinathapura (1222–1227 M). Selanjutnya adalah Anusapati, yang dilanjutkan Wisnuwardhana (1248–1254 M). Terakhir adalah Kertanagara (1254–1292 M). Data ini didapat dari prasasti Mula Malurung.
1. Ken Arok (1222–1227 M)
Pendiri Kerajaan Singasari adalah Ken Arok yang sekaligus juga menjadi Raja Singasari yang pertama dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singasari menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindra (Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (1222–1227 M). Pada tahun 1227 M, Ken Arok dibunuh oleh seorang suruhan Anusapati (anak tiri Ken Arok). Ken Arok dimakamkan di Kegenengan dalam bangunan Siwa–Buddha.
2. Anusapati (1227–1248 M)
Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke tangan Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak banyak melakukan pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan kesenangannya menyabung ayam. Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo (putra Ken Arok dengan Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa (tempat kediamanan Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati asyik menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjoyo menyabut keris buatan Empu Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati. Dengan demikian, meninggallah Anusapati yang didharmakan di Candi Kidal.
3. Tohjoyo (1248 M)
Dengan meninggalnya Anusapati maka tahta Kerajaan Singasari dipegang oleh Tohjoyo. Namun, Tohjoyo memerintah Kerajaan Singasari tidak lama sebab anak Anusapati yang bernama Ranggawuni berusaha membalas kematian ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka dan para pengikutnya, Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjoyo dan kemudian menduduki singgasana.
4. Ranggawuni (1248–1268 M)
Ranggawuni naik takhta Kerajaan Singasari pada tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardana oleh Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa Wongateleng) yang diberi kedudukan sebagai ratu angabhaya dengan gelar Narasinghamurti. Pemerintahan Ranggawuni membawa ketenteraman dan kesejahteran rakyat Singasari. Pada tahun 1254 M Wisnuwardana mengangkat putranya yang bernama Kertanegara sebagai yuwaraja (raja muda) dengan maksud mempersiapkannya menjadi raja besar di Kerajaan Singasari. Pada tahun 1268 Wisnuwardanameninggal dunia dan didharmakan di Jajaghu atau Candi Jago sebagai Buddha Amogapasa dan di Candi Waleri sebagai Siwa.
5. Kertanegara (1268-1292 M)
Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268 dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga orang mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i halu, dan mahamenteri i sirikan. Untuk dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti Patih Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja. Setelah Jawa dapat diselesaikan, kemudian perhatian ditujukan ke daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan ke Melayu yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil menguasai Kerajaan Melayu. Hal ini ditandai dengan pengirimkan Arca Amoghapasa ke Dharmasraya atas perintah Raja Kertanegara.
Selain menguasai Melayu, Singasari juga menaklukan Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura (Kalimantan Barat), dan Gurun (Maluku). Kertanegara juga menjalin hubungan persahabatan dengan raja Champa,dengan tujuan untuk menahan perluasaan kekuasaan Kubilai Khan dari Dinasti Mongol. Kubilai Khan menuntut raja-raja di daerah selatan termasuk Indonesia mengakuinya sebagai yang dipertuan. Kertanegara menolak dengan melukai muka utusannya yang bernama Mengki. Tindakan Kertanegara ini membuat Kubilai Khan marah besar dan bermaksud menghukumnya dengan mengirimkan pasukannya ke Jawa. Mengetahui sebagian besar pasukan Singasari dikirim untuk menghadapi serangan Mongol maka Jayakatwang (Kediri) menggunakan kesempatan untuk menyerangnya. Serangan dilancarakan dari dua arah, yakni dari arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah selatan merupakan pasukan inti.
Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang dan berhasil masuk istana dan menemukan Kertanagera berpesta pora dengan para pembesar istana. Kertanaga beserta pembesar-pembesar istana tewas dalam serangan tersebut. Ardharaja berbalik memihak kepada ayahnya (Jayakatwang), sedangkan Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri dan menuju Madura dengan maksud minta perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiraraja. Atas bantuan Aria Wiraraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang. Raden Wijaya diberi sebidang tanah yang bernama Tanah Tarik oleh Jayakatwang untuk ditempati. Dengan gugurnya Kertanegara maka Kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang. Ini berarti berakhirnya kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan agama yang dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa––Buddha (Bairawa) di Candi Singasari. Arca perwujudannya dikenal dengan nama Joko Dolog yang sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya.
B. KEHIDUPAN DI KERAJAAN SINGASARI
Dari segi sosial, kehidupan masyarakat Singasari mengalami masa naik turun. Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel, dia berusaha meningkatkan kehidupan masyarakatnya. Banyak daerah-daerah yang bergabung dengan Tumapel. Namun pada pemerintahan Anusapati, kehidupan sosial masyarakat kurang mendapat perhatian karena ia larut dalam kegemarannya menyabung ayam. Pada masa Wisnuwardhana kehidupan sosial masyarakatnya mulai diatur rapi. Dan pada masa Kertanegara, ia meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya. Upaya yang ditempuh Raja Kertanegara dapat dilihat dari pelaksanaan politik dalam negeri dan luar negeri.
Politik Dalam Negeri:
  1. Mengadakan pergeseran pembantu-pembantunya seperti Mahapatih Raganata digantikan oleh Aragani.
  2. Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya seperti mengangkat putra Jayakatwang (Raja Kediri) yang bernama Ardharaja menjadi menantunya.
  3. Memperkuat angkatan perang.
Politik Luar Negeri:
  1. Melaksanakan Ekspedisi Pamalayu untuk menguasai Kerajaan melayu serta melemahkan posisi Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka.
  2. Menguasai Bali.
  3. Menguasai Jawa Barat.
  4. Menguasai Malaka dan Kalimantan.
Berdasarkan segi budaya, ditemukan candi-candi dan patung-patung diantaranya candi Kidal, candi Jago, dan candi Singasari. Sedangkan patung-patung yang ditemukan adalah patung Ken Dedes sebagai Dewa Prajnaparamita lambing kesempurnaan ilmu, patung Kertanegara dalam wujud patung Joko Dolog, dan patung Amoghapasa juga merupakan perwujudan Kertanegara (kedua patung kertanegara baik patung Joko Dolog maupun Amoghapasa menyatakan bahwa Kertanegara menganut agama Buddha beraliran Tantrayana).
C. RUNTUHNYA KERAJAAN SINGASARI
Sebagai sebuah kerajaan, perjalanan kerajaan Singasari bisa dikatakan berlangsung singkat. Hal ini terkait dengan adanya sengketa yang terjadi dilingkup istana kerajaan yang kental dengan nuansa perebutan kekuasaan. Pada saat itu Kerajaan Singasari sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa. Akhirnya Kerajaan Singasari mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanegara sendiri. Dalam serangan itu Kertanegara mati terbunuh. Setelah runtuhnya Singasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kediri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singasari pun berakhir.
D. HUBUNGAN KERAJAAN SINGASARI DENGAN MAJAPAHIT
Pararaton, Nagarakretagama dan prasasti Kudadu mengisahkan Raden Wijaya, cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanegara lolos dari maut. Berkat bantuan Aria Wiararaja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit. Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa. Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan Singasari, dan menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.
1. Candi Singosari



     Candi ini berlokasi di Kecamatan Singosari,Kabupaten Malang dan terletak pada lembah di antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna. Berdasarkan penyebutannya pada Kitab Negarakertagama serta Prasasti Gajah Mada yang bertanggal 1351 M di halaman komplek candi, candi ini merupakan tempat "pendharmaan" bagi raja Singasari terakhir, Sang Kertanegara, yang mangkat(meninggal) pada tahun 1292 akibat istana diserang tentara Gelang-gelang yang dipimpin oleh Jayakatwang. Kuat dugaan, candi ini tidak pernah selesai dibangun.

2. Candi Jago

http://freszter-frets-ali.blogspot.com/

     Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut cerita setempat karena tersambar petir. Relief-relief Kunjarakarna dan Pancatantra dapat ditemui di candi ini. Sengan keseluruhan bangunan candi ini tersusun atas bahan batu andesit.

3. Candi Sumberawan

http://freszter-frets-ali.blogspot.com/


     Candi Sumberawan merupakan satu-satunya stupa yang ditemukan di Jawa Timur. Dengan jarak sekitar 6 km dari Candi Singosari, Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Singasari dan digunakan oleh umat Buddha pada masa itu. Pemandangan di sekitar candi ini sangat indah karena terletak di dekat sebuah telaga yang sangat bening airnya. Keadaan inilah yang memberi nama Candi Rawan.

4. Arca Dwarapala

http://freszter-frets-ali.blogspot.com/


     Arca ini berbentuk Monster dengan ukuran yang sangat besar. Menurut penjaga situs sejarah ini, arca Dwarapala merupakan pertanda masuk ke wilayah kotaraja, namun hingga saat ini tidak ditemukan secara pasti dimanan letak kotaraja Singhasari.

5. Prasasti Manjusri

http://freszter-frets-ali.blogspot.com/


Prasasti Manjusri merupakan manuskrip yang dipahatkan pada bagian belakang Arca Manjusri, bertarikh 1343, pada awalnya ditempatkan di Candi Jago dan sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta

6. Prasasti Mula Malurung

http://freszter-frets-ali.blogspot.com/


     Prasasti Mula Malurung adalah piagam pengesahan penganugrahan desa Mula dan desa Malurung untuk tokoh bernama Pranaraja. Prasasti ini berupa lempengan-lempengan tembaga yang diterbitkan Kertanagara pada tahun 1255 sebagai raja muda di Kadiri, atas perintah ayahnya Wisnuwardhana raja Singhasari.

     Kumpulan lempengan Prasasti Mula Malurung ditemukan pada dua waktu yang berbeda. Sebanyak sepuluh lempeng ditemukan pada tahun 1975 di dekat kota Kediri, Jawa Timur. Sedangkan pada bulan Mei 2001, kembali ditemukan tiga lempeng di lapak penjual barang loak, tak jauh dari lokasi penemuan sebelumnya. Keseluruhan lempeng prasasti saat ini disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta.

7. Prasastri Singosari

http://freszter-frets-ali.blogspot.com/


     Prasasti Singosari, yang bertarikh tahun 1351 M, ditemukan di Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur dan sekarang disimpan di Museum Gajah dan ditulis dengan Aksara Jawa.

     Prasasti ini ditulis untuk mengenang pembangunan sebuah caitya atau candi pemakaman yang dilaksanakan oleh Mahapatih Gajah Mada. Paruh pertama prasasti ini merupakan pentarikhan tanggal yang sangat terperinci, termasuk pemaparan letak benda-benda angkasa. Paruh kedua mengemukakan maksud prasasti ini, yaitu sebagai pariwara pembangunan sebuah caitya.


8. Candi Jawi

http://freszter-frets-ali.blogspot.com/


     Candi ini terletak di pertengahan jalan raya antara Kecamatan Pandaan - Kecamatan Prigen dan Pringebukan. Candi Jawi banyak dikira sebagai tempat pemujaan atau tempat peribadatan Buddha, namun sebenarnya merupakan tempat pedharmaan atau penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari, Kertanegara. Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singhasari. Kedua candi ini ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat peribadatan Raja Kertanegara.

9. Prasasti Wurare

http://freszter-frets-ali.blogspot.com/


     Prasasti Wurare adalah sebuah prasasti yang isinya memperingati penobatan arca Mahaksobhya di sebuah tempat bernama Wurare (sehingga prasastinya disebut Prasasti Wurare). Prasasti ditulis dalam bahasa Sansekerta, dan bertarikh 1211 Saka atau 21 November 1289. Arca tersebut sebagai penghormatan dan perlambang bagi Raja Kertanegara dari kerajaan Singhasari, yang dianggap oleh keturunannya telah mencapai derajat Jina (Buddha Agung). Sedangkan tulisan prasastinya ditulis melingkar pada bagian bawahnya.

10. Candi Kidal
http://freszter-frets-ali.blogspot.com/


     Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari kutukan Mpu Gandring.




Senin, 24 Februari 2014

Dinasti Warmedewa dan Kerajaan-Kerajaan kecil di bali



Dinasti Warmadewa
Salah satu dinasti kerajaan yang terbesar di Kepulauan Nusantara dan semenanjung Asia Tenggara adalah dinasti Warman atau Warmadewa. Warmadewa berasal dari bahasa Sansekerta secara umum berarti berarti Dewa Pelindung atau Dilindungi Dewa. Raja-raja dari Dinasti Warmadewa ini awalnya berasal dari India(kerajaan Pallawa) -raja awalnya berasal dari India, dimana ada raja berwangsa Warmadewa dan ada pula berwangsa Sanjaya .

Pada saat berikutnya, kerajaan Sriwijaya berekspansi menguasai pantai utara Jawa dan Bali, mendirikan wangsa Sailendra di Jawa Tengah dan kerajaan Singhadwara di Bali. Jadi leluhur raja-raja dinasti Warmadewa diyakini berasal dari India, sehingga berdasarkan berita dari It-Sing,pada tahun 695 M, adat tradisi di semua negara tadi hampir serupa, karena mereka menganut agama dan kebudayaan yang hampir sama berasal dari India. Mengapa mereka yaitu kaum Shaka, Pallawa dan Yawana menyebar meninggalkan India? Ini disebabkan pada awal tarikh masehi kaum Kushan ( Mongol) mendesak mereka ke India bagian selatan(wilayah Tondaimandalam,sebelah barat Madeas), dimana para pewaris mereka mendirikan kerajaan Pallawa. Kemudian pada abad ke-4, Samudra Gupta(335-375) menaklukkan kerajaan Pallawa, yang mana penaklukkan ini menyebabkan banyak vassal raja Pallawa pergi meninggalkan India menuju Funan , Kutai, Sumatra dan Jawa.

Sejak itu, kawasan Asia Tenggara menjadi wilayah kekuasaan dinasti Warmadewa. Dinasti Warmadewa dilihat dari asal usulnya merupakan campuran dari bangsa Yunani(Yawana), Persia(Pallawa) dan Shaka. Konon , berdasarkan Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang tahun 1612, dinasti Warmadewa merupakan keturunan dari Raja Makedonia-Yunani, Alexander Yang Agung(Iskandar Zulkarnaen) yang pernah menguasai India pada abad IV SM. Kemudian diceritakan, ada keturunan Beliau datang ke Sumatera dan menjadi cikal bakal dinasti Warmadewa bermula di Bukit Siguntang ,Palembang. Beliau adalah Paduka Sri Tri Bhuana yang menjadi pangkal empat jurai rajakula di Asia Tenggara, yaitu Palembang(Sriwijaya), Majapahit, Semenanjung Malayu dan Minangkabau8. Menarik juga untuk dicermati, kata Alexander mempunyai arti pria yang melindungi atau pria yang dilindungi, makna yang sama dengan kata Warmadewa.

2. Dalem Sri Kesari pendiri Dinasti Warmadewa di Bali
Raja dinasti Warmadewa pertama di Bali adalah Dalem Sri Kesari Warmadewa [ yang bermakna Yang Mulia Pelindung Kerajaan Singha]1 yang dikenal juga dengan Dalem Selonding, datang ke Bali pada akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10, beliau berasal dari Sriwijaya(Sumatra) dimana sebelumnya pendahulu beliau dari Sriwijaya telah menaklukkan Tarumanegara( tahun 686) dan Kerajaan Kalingga di pesisir utara Jawa Tengah/Semarang sekarang. Persaingan dua kerajaan antara Mataram dengan raja yang berwangsa Sanjaya dan kerajaan Sriwijaya dengan raja berwangsa Syailendra( dinasti Warmadewa) terus berlanjut sampai ke Bali.

Di Bali, Sri Ratu Ugrasena (915-942), raja kerajaan Singhamandawa (pusat istana di Sukawana, Penulisan, Bangli) yang berkaitan dengan kerajaan Kanuruhan dan Mataram(Sanjayawangsa) bersaing dengan Dalem Sri Kesari Warmadewa yang mulanya beristana di Bhumi Kahuripan Singhadwara (dekat Pura Besakih sekarang) kemudian memindahkan ibukota ke Pejeng. Di dalam Purana Bali Dwipa, diceritakan Dalem Sri Kesari Warmadewa menaklukkan raja Mayadanawa yang memerintah di Bali dimana pada masanya melarang upacara dewa yajna di Pura Kahyangan seluruh Bali7. Oleh Dalem Sri Kesari, pura-pura yang rusak kemudian diperbaiki, setelah itu beliau mengadakan upacara yajna untuk memuja Tuhan dan menghormati para leluhur dilaksanakan pada hari Budha Kliwon Dunggulan yang kelak disebut hari Galungan atau hari kemenangan. Pulau Bali kembali menjadi aman dan makmur serta wilayah kekuasaan meliputi Makasar, Sumbawa, Sasak dan Blambangan.

Rupanya persaingan ini dimenangkan oleh dinasti Warmadewa, karena sejak tahun 942 tidak ada lagi prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Ratu Ugrasena. Dalem Sri Kesari Warmadewa menyatakan dirinya raja Adhipati yang berarti dia merupakan penguasa di Bali mewakili kekuasaan Sriwijaya. Kemungkinan beliau adalah keturunan dari Balaputradewa, hal ini berdasarkan kesamaan cara penulisan prasasti , kesamaan dalam menganut agama Budha Mahayana dan kesamaan nama dinasti Warmadewa. Berdasarkan prasasti Blanjong di Singhadwara,Sanur, prasasti Panempahan di Tampaksiring dan prasasti Malatgede yang ketiga-tiganya ditulis pada bagian paro bulan gelap Phalguna 835 S atau bulan Februari 9135, beliau berhasil mengalahkan musuh-musuhnya baik di luar pulau maupun di pedalaman Bali. Tapi kemenangan ini mungkin tidak menyeluruh karena di pedalaman wilayah kraton Singhamandawa masih berkuasa Sri Ratu Ugrasena hingga tahun 942.

Persaingan antara dua dinasti mungkin sekali berubah menjadi kerjasama, apakah melalui perkawinan atau yang lain, karena setelah berakhirnya masa Sri Ratu Ugrasena, yang menjadi raja di Bali adalah dari dinasti Warmadewa yaitu keturunan Dalem Sri Kesari, Sang Ratu Aji Tabanendra Warmadewa(955-967), beliau juga bergelar Sri Candrabhaya Singhawarmadewa atau Indra Jayasingha Warmadewa, memerintah bersama istrinya Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Warmadewi, yang mendirikan pemandian Tirta Empul Tampaksiring pada tahun 960. Semasa pemerintahannya beliau memperkenankan pendeta Siwa mendirikan pertapaan di Air Madatu, tempat dimakamnya Sang Ratu Ugrasena. Situasi seperti ini sangat mirip dengan situasi di Jawa pada masa Kerajaan Mataram, dimana ada persaingan kekuasaan sekaligus kerjasama antara dua dinasti, Sanjaya dan Syailendra. Selanjutnya kekuasaan digantikan oleh putra beliau, Sri Jana Sadhu Warmadewa.

Pada masa beliau ini, konon Bali pada tahun 983 dikuasai oleh Ratu Sri Maharaja Sriwijaya Mahadewi yang diperkirakan berasal dari kerajaan Sriwijaya. Setelah itu berkuasa Sri Dharma Udayana Warmadewa(989-1011). Beliau lahir sekitar tahun 963. Sebelum menjadi raja di Bali, beliau pergi ke Jawa Timur, untuk mempersiapkan diri menjadi raja dengan mendirikan pemandian Jalatunda tahun 987 dan melakukan tapabrata di puncak Gunung Penanggungan. Pada saat pemerintahan Sri Udayana adalah puncak kejayaan dinasti Warmadewa di Bali, beliau mempersunting putri dari Jawa Timur, Mahendradatta Gunaprya Dharmapatni, putri dari raja kerajaan Watu Galuh Sri Makuta Wangsa Wardhana. Saudara Mahendradatta adalah Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama Tunggadewa, yang menggantikan ayahnya menjadi raja Watu Galuh3,6.

Pada masa pemerintahan beliau berdua, Udayana dan Mahendradatta, datang ke Bali seorang pendeta besar bernama Mpu Kuturan, kakak seperguruan dari Mpu Bharadah, melakukan reformasi terhadap agama Hindu dengan menyatukan sembilan sekte di Bali menjadi Tri Murti dan nama agama disepakati adalah Agama Siwa-Buddha. Raja Udayana memiliki 3 orang putra, yang pertama adalah Sri Airlangga,lahir tahun 1000 yang kelak menjadi Raja Kahuripan,yang kedua,Sri Wardhana Marakata Pangaja Tungadewa(1011-1049), menjadi raja menggantikan ayahandanya, dan yang ketiga Sri Anak Wungsu, yang naik tahta menggantikan kakaknya(1049-1079). Setelah wafat, kekuasaan dipegang oleh Sri Maharaja Sri Walaprabhu. Setelah itu sejak tahun 1088, kekuasaan dijalankan oleh putri Sri Anak Wungsu yaitu Ratu Sakalindhu Kirana(1088-1101), dengan gelar Paduka Sri Maharaja Sri Sakalindu Kirana Sana Guna Dharma Laksmi Dhara Wijaya Utunggadewi atau Paduka Sri Maharaja Gon Karunia Pwa Swabhawa Paduka Sri Saksatnira Harimurti Jagatpalaka Nityasa., beliau merupakan raja putri yang pertama di Bali. Kemudian dari istri yang lain, dua putera yaitu, Sri Suradhipa, menjadi raja pada tahun 1101-1119, dilanjutkan oleh sang adik yaitu Sri Jayasakti(1119-1150).

Sebelum Sri Jayapangus berkuasa, yang menjadi raja di Bali adalah Hari Prabhu. Hari Prabhu yang juga dikenal dengan nama Ragajaya berkuasa selama 27 tahun. Sri Jayapangus berkuasa mulai sekitar tahun 1177 sampai tahun 1181. Sri Jayapangus digantikan oleh Sri Maharaja Sri Arya Dingjaya Katana(1181-1200), kemudian dilanjutkan oleh anaknya Sri Maharaja Aji Ekalayalancana(1200-1204). Kemudian, yang menjadi raja adalah Batara Guru Aji Kunti Kontana, yang memiliki dua anak ( kembar) putra dan putri, yang putra bernama Sri Dhanadiraja Lancana dan yang putri bernama Sri Dhanadewi Ketu, keduanya dinikahkan dan kelak dinobatkan menjadi raja dengan gelar Mahasora Mahasori atau Mahewara Maherswari atau Sri Masula-Masuli. Selanjutnya yang menjadi raja adalah Sri Hyang Ninghyang Adidewa Lancana(1260-1286), kekuasaannya berakhir setelah Bali ditaklukkan oleh kerajaan Singhasari dengan rajanya bernama Sri Kertanegara, yang kemudian menugaskan Patih Kebo Parud menjadi pelaksana kekuasaan di Bali.

Setelah kerajaan Singhasari dihancurkan oleh Jayakatwang, Raja Gelang-Gelang,Kediri, maka kekuasaan di Bali dipegang oleh Sri Mahaguru Dharma Hutungga Warmadewa, kerajaannya disebut Bata Anyar, berkuasa hingga 1328 . Setelah itu, beliau digantikan putranya yaitu Sri Tarunajaya atau Sri Walajaya Kertaningrat yang berkuasa hingga tahun 1337 . Sesudah itu yang menjadi penguasa di Bali adalah Sri Tapolung yang bergelar Sri Asta Asura Ratna Bhumi Banten(1337-1343). Beliau disebut juga Dalem Sri Bedahulu , adalah raja dinasti Warmadewa terakhir yang berkuasa di Bali, karena sejak tahun 1343, Bali ditaklukkan oleh kerajaan Majapahit, dimana prajurit Majapahit yang menyerang Bali berada di bawah pimpinan Sang Adityawarman dan Gajah Mada.

3. Penutup
Dalem Sri Kesari merupakan tokoh sejarah, ini bisa dibuktikan dari beberapa prasasti yang beliau tinggalkan seperti prasasti Blanjong di Singhadwara,Sanur, prasasti Panempahan di Tampaksiring dan prasasti Malatgede yang ketiga-tiganya ditulis pada bagian paro bulan gelap Phalguna 835 S atau bulan Februari 913. Dalem Sri Kesari Warmadewa menyatakan dirinya raja Adhipati yang berarti dia merupakan penguasa di Bali mewakili kekuasaan kerajaan lain yaitu Sriwijaya. Kemungkinan beliau adalah keturunan dari Balaputradewa, hal ini berdasarkan kesamaan cara penulisan prasasti , kesamaan dalam menganut agama Budha Mahayana dan kesamaan nama dinasti Warmadewa.

Kerajaan Buleleng

Kerajaan Buleleng adalah suatu kerajaan di Bali yang didirikan sekitar pertengahan abad ke-17 dan jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849. Kerajaan ini dibangun oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan dengan cara menyatukan seluruh wilayah wilayah Bali Utara yang sebelumnya dikenal dengan nama Den Bukit.
I Gusti Anglurah Panji Sakti, yang sewaktu kecil bernama I Gusti Gde Pasekan adalah putra I Gusti Ngurah Jelantik dari seorang selir bernama Si Luh Pasek Gobleg berasal dari Desa Panji wilayah Den Bukit. I Gusti Panji memiliki kekuatan supra natural dari lahir. I Gusti Ngurah Jelantik merasa khawatir kalau I Gusti Ngurah Panji kelak akan menyisihkan putra mahkota. Dengan cara halus I Gusti Ngurah Panji yang masih berusia 12 tahun disingkirkan ke Den Bukit, ke desa asal ibunya, Desa Panji.
I Gusti Ngurah Panji menguasai wilayah Den Bukit dan menjadikannya Kerajaan Buleleng, yang kekuasaannya pernah meluas sampai ke ujung timur pulau Jawa (Blambangan). Setelah I Gusti Ngurah Panji Sakti wafat pada tahun 1704, Kerajaan Buleleng mulai goyah karena putra-putranya punya pikiran yang saling berbeda.
Kerajaan Buleleng tahun 1732 dikuasai Kerajaan Mengwi namun kembali merdeka pada tahun 1752. Selanjutnya jatuh ke dalam kekuasaan raja Karangasem 1780. Raja Karangasem, I Gusti Gde Karang membangun istana dengan nama Puri Singaraja. Raja berikutnya adalah putranya bernama I Gusti Paang Canang yang berkuasa sampai 1821.
Pada tahun 1846 Buleleng diserang pasukan Belanda, tetapi mendapat perlawanan sengit pihak rakyat Buleleng yang dipimpin oleh Patih / Panglima Perang I Gusti Ketut Jelantik. Pada tahun 1848 Buleleng kembali mendapat serangan pasukan angkatan laut Belanda di Benteng Jagaraga. Pada serangan ketiga, tahun 1849 Belanda dapat menghancurkan benteng Jagaraga dan akhirnya Buleleng dapat dikalahkan Belanda. Sejak itu Buleleng dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda.


Kerajaan Bedahulu
Kerajaan Bedahulu atau Bedulu adalah kerajaan kuno di pulau Bali pada abad ke-8 sampai abad ke-14, yang memiliki pusat kerajaan di sekitar Pejeng (baca: pèjèng) atau Bedulu, Kabupaten Gianyar, Bali. Diperkirakan kerajaan ini diperintah oleh raja-raja keturunan dinasti Warmadewa. Penguasa terakhir kerajaan Bedulu (Dalem Bedahulu) menentang ekspansi kerajaan Majapahit pada tahun 1343, yang dipimpin oleh Gajah Mada, namun berakhir dengan kekalahan Bedulu. Perlawanan Bedulu kemudian benar-benar padam setelah pemberontakan keturunan terakhirnya (Dalem Makambika) berhasil dikalahkan tahun 1347.

Setelah itu Gajah Mada menempatkan seorang keturunan brahmana dari Jawa bernama Sri Kresna Kepakisan sebagai raja (Dalem) di pulau Bali. Keturunan dinasti Kepakisan inilah yang di kemudian hari menjadi raja-raja di beberapa kerajaan kecil di Pulau Bali.


Raja-raja Bedahulu:
Sri Wira Dalem Kesari Warmadewa - (882-913)
Sri Ugrasena - (915-939)
Agni
Tabanendra Warmadewa
Candrabhaya Singa Warmadewa - (960-975)
Janasadhu Warmadewa
Sri Wijayamahadewi
Dharmodayana Warmadewa (Udayana) - (988-1011)
Gunapriya Dharmapatni (bersama Udayana) - (989-1001)
Sri Ajnadewi
Sri Marakata - (1022-1025)
Anak Wungsu - (1049-1077)
Sri Maharaja Sri Walaprabu - (1079-1088)
Sri Maharaja Sri Sakalendukirana - (1088-1098)
Sri Suradhipa - (1115-1119)
Sri Jayasakti - (1133-1150)
Ragajaya
Sri Maharaja Aji Jayapangus - (1178-1181)
Arjayadengjayaketana
Aji Ekajayalancana
Bhatara Guru Sri Adikuntiketana
Parameswara
Adidewalancana
Mahaguru Dharmottungga Warmadewa
Walajayakertaningrat (Sri Masula Masuli atau Dalem Buncing)
Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Dalem Bedahulu) - (1332-1343)
Dalem Tokawa (1343-1345)
Dalem Makambika (1345-1347)
Dalem Madura

Sisa peninggalan

Perlawanan kerajaan Bedulu terhadap Majapahit oleh legenda masyarakat Bali dianggap melambangkan perlawanan penduduk Bali asli (Bali Aga) terhadap serangan Jawa (Wong Majapahit). Beberapa tempat terpencil di Bali masih memelihara adat-istiadat Bali Aga, misalnya di Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli; di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem; serta di desa-desa Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tiga Was, Padangbulia di Kabupaten Buleleng.

Beberapa obyek wisata yang dianggap merupakan peninggalan kerajaan Bedulu, antara lain adalah pura Jero Agung, Samuan Tiga, Goa Gajah, Pura Bukit Sinunggal.


Kerajaan Gelgel

1. Munculnya kerajaan Gelgel
Gelgel adalah nama sebuah desa yang terletak di Kabupaten daerah tingkat II Klungkung. Dari Desa Samprangan, jaraknya tidak begitu jauh, hanya 17 km menuju jurusan Timur. Letaknya tidak begitu jauh dari pantai Selatan Bali dan di sebelah Timur mengalir Kali Unda yang airnya bersumber dari lereng Gunung Agung yaitu mata air yang bernama Telaga Waja.

2. Pemerintahan Raja-Raja Gelgel

a. Dalem Ktut Ngulesir
Merupakan raja pertama dari periode Gelgel yang berkuasa selama lebih kurang 20 tahun (tahun 1320-1400). Ada beberapa yang dapat diamati selama masa pemerintahan raja Gelgel pertama, raja dikatakan berparas sangat tampan ibarat Sanghyang Semara, serta memerintah dengan bijaksana dan selalu berpegang pada Asta Brata.

Dalem Ktut Ngulesir adalah seorang raja yang adil, suka memberi penghargaan kepada orang yang berbuat baik, serta tidak segan-segan menghukum mereka yang berbuat salah. Baginda menganugrahkan suatu predikat tanda penghargaan wangsa "Sanghyang" dengan sebutan "Sang" kepada masyarakat desa Pandak, di mana mereka bermukim dahulu.

Pada masa pemerintahan prabhu Hayam Wuruk yang mengadakan upacara Cradha dan rapat besar, dihadiri pula oleh Dalem Ktut Ngulesir beserta semua raja-raja di kawasan Nusantara. Kehadiran dengan tata kebesaran itu menimbulkan kekaguman para raja yang lain serta masyarakat yang menyaksikan. Beliau disertai oleh Patih Agung, Arya Patandakan, dan Kyai Klapodyana (Gusti Kubon Tubuh).

b. Dalem Batur Enggong
Dalem Batur Enggong memerintah mulai tahun 1460 M dengan gelar Dalem Batur Enggong Kresna Kepakisan, dalam keadaan negara yang stabil. Hal ini telah ditanamkan oleh almarhum Dalem Ktut Ngulesir, para mentri dan pejabat-pejabat lainnya demi untuk kepentingan kerajaan.

Dalem dapat mengembangkan kemajuan kerajaan dengan pesat, dalam bidang pemerintahan, sosial politik, kebudayaan, hingga mencapai zaman keemasannya. Jatuhnya Majapahit tahun 1520 M tidak membawa pengaruh negatif pada perkembangan Gelgel, bahkan sebaliknya sebagai suatu spirit untuk lebih maju sebagai kerajaan yang merdeka dan berdaulat utuh. Beliau adalah satu-satunya raja terbesar dari dinasti Kepakisan yang berkuasa di Bali, yang mempunyai sifat-sifat adil, bijaksana.

c. Dalem Bekung
Setelah wafatnya Dalem Watur Enggong, maka menurut tradisi yang berlaku, baginda digantikan oleh putra sulungnya yaitu I Dewa Pemayun, yang selanjutnya disebut Dalem Bekung. Karena umurnya belum dewasa, maka pemerintahannya dibantu oleh para paman dan Patih Agung. Para paman yang membantu adalah : I Dewa Gedong Artha, I Dewa Nusa, I Dewa Pagedangan, I Dewa Anggungan dan I Dewa Bangli. Kelima orang itu adalah putra I Dewa Tegal Besung saudara sepupu Dalem Waturenggong.

d. Dalem Sagening
Dalem Sagening dinobatkan menjadi raja pada tahun 1580 M. Menggantikan Dalem Bekung dalam suasana yang amat menyedihkan, dan Dalem Sagening seorang raja yang amat bijaksana, cerdas, berani, berwibawa maka dalam waktu yang singkat keamanan kerajaan Gelgel pulih kembali. Sebagai Patih Agung adalah Kryan Agung Widia putra pangeran Manginte, sedangkan adiknya Kryan Di Ler Prenawa diberikan kedudukan Demung.

Dalem Sagening menetapkan putra-putra baginda di daerah-daerah tertentu, dengan jabatan sebagai anglurah antara lain :

1. I Dewa Anom Pemahyun,
ditempatkan di desa Sidemen (Singarsa) dengan jabatan Anglurah pada tahun 1541 M, dengan patih I Gusti Ngurah Sidemen Dimade dengan batas wilayah di sebelah timur sungai Unda sampai sungai Gangga, dan batas wilayah di sebelah utara sampai dengan Ponjok Batu.

2. I Dewa Manggis Kuning,( I Dewa Anom Manggis)
beribu seorang ksatria dari Manggis, atas permohonan I Gusti Tegeh Kori dijadikan penguasa di daerah Badung. Namun karena sesuatu peristiwa beliau terpaksa meninggalkan daerah Badung, pindah ke daerah Gianyar.

3. Kyai Barak Panji, beribu dari Ni Pasek Panji, atas perintah Dalem di tempatkan di Den Bukit sebagai penguasa di daerah itu, dibantu oleh keturunan Kyai Ularan. Dia sebagai pendiri kerajaan Buleleng yang kemudian bernama I Gusti Panji Sakti.

e. Dalem Anom Pemahyun
Setelah Dalem Sagening wafat pada tahun 1665, maka I Dewa Anom Pemahyun dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Dalem Anom Pemahyun. Dalam menata pemerintahan Dalem belajar dari sejarah dan pengalaman. Karena itu secara progresif dia mengadakan pergantian para pejabat yang kurang diyakini ketulusan pengabdiannya.

f. Dalem Dimade
Setelah Dalem Anom Pemahyun meninggalkan istana Gelgel, maka I Dewa Dimade dinobatkan menjadi susuhunan kerajaan Bali dengan gelar Dalem Dimade 1665-1686, seorang raja yang sabar, bijaksana dalam mengemban tugas, cakap memikat hati rakyat. Patih Agung adalah Kyai Agung Dimade (Kryan Agung Maruti) berkemauan keras dan bercita-cita tinggi. Kyai Agung Dimade adalah anak angkat I Gusti Agung Kedung. Sebagai demung diangkat Kryan Kaler Pacekan dan Tumenggung adalah Kryan Bebelod.

g. Kryan Agung Maruti
Kebesaran kerajaan Gelgel yang pernah dicapai kini hanya tinggal kenang-kenangan di dalam sejarah. Setelah Dalem Dimade meninggalkan istana Gelgel tahun 1686 M maka kekuasaan di pegang oleh Kryan Agung Maruti sebagai raja Gelgel. Namun Bali tidak lagi merupakan kesatuan di bawah kekuasaan Gelgel, malainkan Bali mengalami perpecahan di antara para pemimpin, kemudian mucul kerajaan-kerajaan kecil yang berdaulat, sehingga daerah kekuasaan Kryan Maruti tidak seluas daerah kekuasaan kerajaan Gelgel yang dahulu.

3. Aspek Sosial Budaya

a. Struktur Pemerintahan
Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dibantu oleh raja kerajaan yang terdiri atas kaum bangsawan disebut dengan nama bahunada atau tanda mantri. Para bahudanda atau pembesar kerajaan pada umumnya diambil dari keluarga istana, kerabat kerajaan yang dianggap berjasa atau dalam ikatan kekerabatan dengan raja. Hubungan antara raja dan rakyat diatur melalui suatu birokrasi yang sudah merupakan suatu sistem pemerintahan tradisional. Di dalam menjalankan tugas sehari-hari raja di dampingi oleh pendeta kerajaan yang disebut Bhagawanta atau purohita.

Dari pendeta Ciwa dan Buddha yang berfungsi sebagai penasehat raja dalam masalah-masalah keagamaan. Bhagawanta biasanya adalah keturunan dari putra-putra Dang Hyang Nirartha yang termasuk keturunan Brahmana Kemenuh yang diturunkan dari istri Dang Hyang Nirartha yang pertama yang berasal dari Daha yang bernama Diah Komala.

b. Sistem Kepemimpinan
Golongan ksatria memegang pimpinan di dalam pemerintahan. Hak golongan ksatria ini untuk memegang pemerintahan dianggap sebagai karunia Tuhan, Brahmokta Widisastra memberikan keterangan golongan ksatria lahir dari tugas khusus. Pekerjaan mereka hanya memerintah, mengenal ilmu peperangan. Orang-orang yang memegang jabatan di bawah raja merupakan keturunan para Arya yang menaklukkan kerajaan Bali kuna. Secara turun temurun mereka memakai gelar "I Gusti" atau "Arya" seperti Arya Kepakisan, I Gusti Kubon Tubuh, I Gusti Agung Widia, I Gusti Agung Kaler Pranawa dan lain-lain.

Untuk mengatur dan mengendalikan segala kelakuan dan kehidupan masyarakat diperlukan adanya hukum. dalam masyarakat Majapahit berlaku hukum tertulis dalam sebuah buku yang bernama Manawa Dharma Sastra sedangkan di Bali dikenal buku yang berjudul Sang Hyang Agama.

Setelah Dalem Batur Enggong wafat digantikan oleh Dalem Sagening dari tahun 1380-1665 M. Pada masa ini muncul Pujangga, Pangeran Telaga di mana tahun 1582 mengarang : 1. Amurwatembang, 2. Rangga Wuni, 3. Amerthamasa, 4. Gigateken, 5. Patal, 6. Sahawaji, 7. Rarengtaman, 8. Rarakedura, 9. Kebo Dungkul, 10. Tepas dan 11. Kakansen. Sedangkan Kyai Pande Bhasa mengarang : Cita Nathamarta, Rakkriyan Manguri mengarang : Arjunapralabdha, Pandya Agra Wetan mengarang : Bali Sanghara.


Prasasti Bercorak Hindu
Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama. Kata prasasti berasal dari bahasa Sansekerta. Arti sebenarnya adalah "pujian". Namun kemudian dianggap sebagai "piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang atau tulisan". Di kalangan ilmuwan prasasti disebut inskripsi, sementara di kalangan orang awam disebut batu bertulis atau batu bersurat.

Prasasti Blanjong

Prasasti Blanjong adalah prasasti bertarikh 913 M, yang memuat sejarah tertulis tertua tentang Pulau Bali (yaitu dalam bentuk kata Walidwipa). Prasasti ini ditemukan di daerah Sanur, Denpasar, Bali.

Prasasti Blanjong dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang bernama Sri Kesari Warmadewa. Bentuknya berupa pilar batu setinggi 177 cm, dan bergaris tengah 62 cm. Prasasti ini unik karena bertuliskan dua macam huruf; yaitu huruf Pra-Nagari dengan menggunakan bahasa Bali Kuno, dan huruf Kawi dengan menggunakan bahasa Sanskerta.

Situs prasasti ini termasuk dalam lingkungan pura kecil, yang melingkupi pula tempat pemujaan dan beberapa arca kuno.