KERAJAAN KEDIRI
Lahirnya Kerajaan Kediri
berkaitan dengan adanya pembagian kekuasaan di Kerajaan Medang
Mataram pada tahun November 1041. Airlangga membagi kerajaan bertujuan untuk menghindari
terjadinya perang saudara di Mataram. Setelah Mataram dibagi 2 oleh Mpu Bharada
seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya, muncullah Panjalu dan
Janggala yang dibatasi gunung Kawi dan sungai Brantas. Kerajaan barat yang
bernama Panjalu diberikan pada Samarawijaya (iparnya) yang berpusat di kota
baru dengan ibukota Daha yang meliputi Kediri, Madiun sedangkan kerajaan timur
yang bernama Janggala diberikan pada Mapanji Garasakan (anak keduanya) yang
berpusat di kota lama yang meliputi daerah Malang dan delta sungai Bantas,
dengan pelabuhan Surabaya, Rembang dan Pasuruan ibukotanya Kahuripan. Padahal
airlangga telah mempersiapkan putra sulungnya sebagai penggantinya, tapi tidak
bersedia dan lebih memilih menjadi petapa yang bergelar Dewi Kilisuli. Sumber
sejarah yang menceritakan pembagian kerajaan ada dalam Prasasti Wurara ada juga
yang menyebut dengan nama Prasasti Mahaksubya (1289 M), Kitab Negarakertagama
(1365 M), Kitab Calon Arang (1540 M).
Dalam Serat Calon Arang dijelaskan
bahwa ‘sesungguhnyA kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kediri berdiri.
Daha merupakan singkatan dari Dahanapura yang berarti kota
api tapi ini terdapat pada prasasti Pamwatan yang dikeluarkan
Airlangga tahun 1042.’ Saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah
tak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.Menurut kitab
Negarakertagama, sebelum dibelah menjadi 2, nama kerajaan yang dipimpin oleh
Airlangga sudah bernama Panjalu yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala
lahir sbg pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang
sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibukota Kerajaan Janggala.
Dalam perkembangan selanjutnya, ibukota Kerajaan Panjalu di Daha dipindahkan ke wilayah Kediri sehingga nama kerajaan lebih dikenal sebagai Kerajaan Kediri. Pada awalny, nama Panjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kediri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh Raja-raja Kediri. Bahkan nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-Chia-Lung dlm kronik Cina yang berjudul Ling Wai Tai Ta (1178).
RAJA – RAJA KERAJAAN KEDIRI
1. 1. SRI SAMARAWIJAYA, putra airlangga = prasasti
PAMWATAN (1042).
Sepeninggal Raja
Airlangga dan selama kekuasaan Samarawijaya, Kerajaan Janggala dan Panjalu
tidak pernah hidup berdampingan secara damai. Perebutan kekuasaan terus
berlangsung hingga tahun 1042, Mapanji Garasakan dapat mengalahkan
Samarawijaya. Diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042-1052
M) dalam Prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan
Airlangga, yaitu Garuda Mukha (Wisnu Naik Garuda). Namun Mapanji tidak lama
memimpin Kerajaan. Tampuk pemerintahan lalu jatuh ditangan Raja Mapanji
Alanjung Ahyes (1052-1059 M) dan kemudian digantikan lagi oleh Sri
Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Janggala dan
Panjalu menyebabkan selama kira-kira 60 tahun tidak ada berita yang jelas
mengenai kedua Kerajaan tersebut hingga muncullah nama Raja Sri Maharaja Sri
Bameswara
2.
2. SRI JAYASWARA = prasasti SIRAH KETING (1104)
Tidak diketahui langsung ia adalah
pengganti langsung sri samarawijaya.
3. 3. SRI BAMESWARA = prasasti PADELEGAN I (1117),
prasasti PANUMBANGAN (1120), prasasti TANGKILAN (1130).
Raja Sri Maharaja Sri Bameswara (1116-1135 M) dari Kediri yang
menggunakan lancana Candrakapale yaitu tengkorak yang bertaring diatas bulan
sabit. Pada masa pemerintahannya banyak dihasilkan karya-karya sastra
bahkan kiasan hidupnya yang dikenal dalam Cerita Panji.
4. 4. SRI JAYABHAYA, raja terbesar panjalu = prasasti
NGANTANG (1135), KAKAWIN BHARATAYUDHA (1157).
Bameswara diganti oleh Sri Maharaja Sri Jayabhaya (1135-1159 M) yang
menggunakan lencana Kerajaan berupa lencana Narasingha yaitu setengah manusia
setengah singa. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Kediri mencapai puncak
kejayaan dan juga banyak dihasilkan karya sastra terutama ramalannya tentang
Indonesia antara lain akan datangnya Ratu Adil. Jayabhaya disebut sebagai
penjelmaan Dewa Wisnu. Ketika ia berkuasa, pertentangan dengan Janggala
berakhir setelah ia dapat menguasai Kerajaan tersebut. Atas kemenangan tersebut
ia memperingatinya dengan memerintahkan Mpu Sedah untuk menggubah Kakawin
(syair) Bharatayudha sebagai peringatan atas peperangan Kediri dan Janggala.
Karena Mpu Sedah tidak sanggup menyelesaikan Kakawin tersebut, Mpu Panuluh
melanjutkan dan menyelesaikannya pada tahun 1157 M. Jayabhaya juga terkenal
akan ramalannya yang sering disebut Jangka Jayabhaya.
Meskipun demikian, kenyataannya 2 pujangga yang hidup sezaman dengan
Prabu Jayabhaya, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh sama sekali tidak menyebut
dalam kitab-kitab mereka (Kakawin Bharatayudha, Kakawin Hariwangsa, Kakawin
Gatotkacasraya) bahwa Prabu Jayabhaya memiliki karya tulis. Kakawin
Bharatayudha hanya menceritakan peperangan antara Kediri dan Janggala.
Sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi tentang cerita
ketika sang Prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi
Rukmini, dari negri Kundina, putri Bismaka. Rukmini sendiri adalah titisan dari
Dewi Sri.
Kakawin Bharatayudha yang digubah oleh 2 pujangga Kediri merupakan kisah
perang saudara yang diilhami kitab Mahabharata karangan Wyasa Kresna
Dwaipayana, seorang pujangga India. Kitab tersebut mengisahkan perang perebutan
takhta Kerajaan Hastinapura di antara keluarga Kurawa dan Pandawa yang
dimenangkan oleh Pandawa.
Ramalan Jayabhaya atau sering disebut dengan Jangka Jayabhaya adalah
ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabhaya,
raja Kerajaan Kediri. Ramalan ini dikenal pada khususnya dikalangan masyarakat
Jawa yang dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga. Asal usul utama
serat Jangka Jayabhaya dapat dilihat di kitab Musasar yang digubah oleh Sunan
Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya tapi sangat jelas bunyi bait
pertama kitab Musasar yang menuliskan bahwasanya Jayabhaya-lah yang membuat
ramalan-ramalantersebut. Isinya:
a.
Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran -- kelak jika sudah ada
kereta tanpa kuda
b.
Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang -- perahu berjalan di angkasa
c.
Kali ilang kedhunge -- sungai kehilangan mata air
d.
Sekilan bumi dipajeki -- Sejengkal tanah dikenai pajak.
e.
Wong Wadon Nganggo Pakeyan Lanang – Orang Perempuan berpakaian lelaki.
f.
5. 5. SRI SARESWARA = PADELEGAN II (1159), prasasti
KAHYUNAN (1161).
Sepeninggal Jayabhaya, Kerajaan Kediri dipimpin oleh Sareswara
(1159-1169 M). tidak banyak yang diketahui mengenai raja ini sebab terbatasnya
peninggalan yang ditemukan. Ia memakai lencana Kerajaan berupa Ganesha.
6.
6. SRI ARYESWARA = prasasti ANGIN (1171).
Sepeninggal Sareswara, Kerajaan Kediri berurut-turut dipimpin oleh
Aryyeswara, Kroncaryyadipa. Kemudian pemerintahan Kerajaan jatuh ditangan Raja
Kameswara
7.
7. SRI GANDRA = prasasti JARING (1181).
Terdapat sesuatu yang menarik pada masanya, yaitu
untuk pertama kalinya didapatkan orang-orang terkemuka menggunakan nama-nama
binatang sebagai namanya, seperti Kebo Salawah, Manjangan Puguh, Macan Putih,
Gajah Kuning, dan sebagainya.
8.
8. SRI KAMESWARA = prasasti CEKER (1182), KAKAWIN
SMARADHANA
Raja Kameswara (1182-1185 M) selama beberapa waktu tidak ada berita yang
jelas mengenai Raja Kediri hingga ia muncul. Masa pemerintahan ini ditulis
dalam Kitab Kakawin Smaradhana oleh Mpu Darmaja yang berisi pemujaan terhadap
raja, serta Kitab Lubdaka dan Wretasancaya yang ditulis oleh Mpu Tan Akung.
Kitab Lubdaka bercerita tentang seorang pemburu yang akhirnya masuk surga dan
Wretasancaya yang berisi petunjuk mempelajari tembang Jawa Kuno. Pada masa ini
perkembangan karya sastra mencapai puncak kejayaannya. Beberapa karya sastra yang
muncul selain yang disebut diatas antara lain Kitab Kresnayana, karya Mpu
Triguna ; Kitab Sumanasantaka, karya Mpu Managuna.
9. 9. KERTAJAYA = prasasti GALUNGGUNG (1194), prasasti
KAMULAN (1194), prasasti PALAH (1197), prasasti WATESKULON (1205), NEGARAKERTAGAMA,
PARARATON.
Selanjutnya pada
tahun 1185-1222 M yang menjadi raja Kediri adalah Kertajaya dan raja terakhir
kerajaan Kediri. Ia memakai lencana Garuda Mukha seperti Ria Airlangga,
sayangnya ia kurang bijaksana, sehingga tidak disukai oleh rakyat terutama kaum
Brahmana. Dalam masa pemerintahannya, terjadi pertentangan antara dirinya dan
para Brahmana hal inilah akhirnya menjadi penyebab berakhirnya Kerajaan Kediri.
KEHIDUPAN EKONOMI KERAJAAN KEDIRI
Kediri merupakan Kerajaan agraris
maritim. Perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan dan
pertanian untuk masyarakat yang hidup di daerah pedalaman. Sedangkan yang
berada di pesisir hidupnya bergantung dari perdagangan dan pelayaran. Mereka
telah mengadakan hubungan dagang dengan Maluku dan Sriwijaya. Kediri
terkenal sebagai penghasil beras, kapas dan ulat sutra. Kerajaan
Kediri cukup makmur, hal ini terlihat pada kemampuan Kerajaan yang memberikan
penghasilan tetap pada para pegawainya walaupun hanya dibayar dengan hasil
bumi.
Keterangan tersebut berdasarkan
kitab Chi-fan-Chi (1225) karya Chau Ju-kua mengatakan bahwan
Su-ki-tan yang merupakan bagian dari She-po (Jawa) telah memiliki daerah
taklukkan. Para ahli memperkirakan Su-ki-tan adalah sebuah Kerajaan yang berada
di Jawa Timur, dan yang tak lain dan tak bukan adalah Kerajaan Kediri. Mungkin
juga Su-ki-tan sebagai kota pelabuhan yang telah dikenal para pedagang dari
luar negeri, termasuk Cina. Pemerintahannya sangat memperhatikan keadaan
rakyatnya sehingga pertanian, perdagangan dan peternakan mengalami kemajuan
yang cukup pesat.
Golongan dalam masyarakat Kediri
dibedakan menjadi tiga berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan, yaitu:
1. 1. Golongan masyarakat
pusat(kerajaan) : masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa
kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.
2. 2. Golongan masyarakat
tani (daerah) : golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas
pemerintahan di wilayah tani (daerah).
3. 3. Golongan masyarakat
nonpemerintah : golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan
dengan pemerintahan secara resmi atau masyarakat wiraswasta.
Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang
mencatat dan mengurus semua penghasilan Kerajaan. Disamping itu ada 1000
pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota serta gedung
persediaan makanan.
KEHIDUPAN SOSIAL KERAJAAN KEDIRI
Kehidupan sosial masyarakat Kediri
cukup baik karena kesejahteraan rakyat meningkat, masyarakat hidup tenang.
Dalam kitab Ling-wai-tai-ta (1178) karya Chou-Ku-fei yang menerangkan bahwa
orang-orang Kediri memakai kain sampai lutut, rambutnya di urai, rumah-rumah
telah teratur dan bersih, lantai ubinnya berwarna hijau dan kuning. Pertanian
dan perdagangan telah maju, orang-orang yang salah didenda dengan emas.
Pencuri dan perampok dibunuh, telah digunakan mata uang perak, orang sakit
tidak menggunakan obat tapi memohon kesembuhan pada Dewa atau kepada Buddha.
Tiap bulan ke-5 diadakan pesta air, alat musik yang digunakan berupa seruling,
gendang, dan gambang dr kayu. Dengan kehidupan masyarakatnya yang aman dan
damai maka seni dapat berkembang antara lain kesusastraan yang paling maju
adalah seni sastra terutama Jawa kuno. Namun, karya-karya sastra pada masa
Kerajaan Kediri kurang mengungkap keadaan pemerintahan dan masyarakat pada
zamannya. Pada masa Kameswara perkembangan karya sastra mencapai puncak
kejayaannya.
RUNTUHNYA KERAJAAN KEDIRI
Kertajaya adalah raja terakhir
kerajaan Kediri. Ia memakai lencana Garuda Mukha seperti Ria Airlangga,
sayangnya ia kurang bijaksana, sehingga tidak disukai oleh rakyat terutama kaum
Brahmana. Dalam masa pemerintahannya, terjadi pertentangan antara dirinya dan
para Brahmana hal inilah akhirnya menjadi penyebab berakhirnya Kerajaan Kediri.
Pertentangan itu disebabkan Kertajaya
dianggap telah melanggar adat dan memaksa kaum brahmana menyembahnya sebagai
Dewa. Para Brahmana kemudian meminta perlindungan pada Ken Arok di Singosari.
Kebetulan Ken Arok juga berkeinginan memerdekakan Tumapel (Singosari) yang
dulunya merupakan bawahan Kediri. Tahun 1222 pecahlah pertempuran antara
prajurit Kertajaya dan pasukan Ken Arok di desa Ganter. Dalam peperangan
ini, pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan prajurit Kertajaya. Dengan
demikian berakhirlah masa Kerajaan Kediri, yang sejak saat itu menjadi bawahan
Kerajaan Singosari. Runtuhnya kerajan Panjalu-Kediri pada masa pemerintahan
Kertajaya dikisahkan dalam Kitab Pararaton dan Kitab Negarakertagama.
Setelah Ken Arok mengangkat Kertajaya,
Kediri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan Kerajaan Singosari. Ken Arok
mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai Bupati Kediri. Tahun 1258
Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271
Sastrajaya digantikan oleh putranya , yaitu Jayakatwang. Tahun 1292 Jayakatwang
menjadi bupati geleng-geleng. Selama menjadi bupati, Jayakatwang memberontak
terhadap Singosari yang dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam di masa lalu
dimana leluhurnya yaitu Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil
membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kediri, namun
hanya bertahan satu tahun. Hal itu terjadi karena adanya serangan gabungan yang
dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya.
PENINGGALAN KERAJAAN KEDIRI
Prasasti-prasasti yang menjelaskan
tentang Kerajaan Kediri antara lain , yaitu :
1. 1. Prasasti BANJARAN
berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu atas Janggala.
2. 2. Prasasti HANTANG
berangka tahun 1052 M menjelaskan Panjalu pada masa Jayabhaya.
Selain dari
prasasti-prasasti tersebut, ada lagi prasasti yang lain tetapi tidak
begitu jelas. Dan yang banyak menjelaskan tentang Kerajaan Kediri adalah hasil karya
berupa kitab sastra seperti kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis oleh Mpu
Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kemenangan Kediri (Panjalu)
atas Janggala. Kronik Cina juga banyak memberikan gambaran tentang kehidupan
masyarakat dan pemerintahan Kediri yang tidak ditemukan dari sumber lain.
Berita tersebut disusun melalui kitab yang berjudul Ling-mai-tai-t yang ditulis
oleh Choi-ku-fei tahun 1178 M dan kitab Chi-fan-Chi yang ditulis oleh
Chau-ju-kua tahun 1225 M.
Dan di era 2000-an terdapat penemuan
situs tondowongso tepatnya awal tahun 2007 yang diyakini sebagai peninggalan
Kerajaan Kediri. Dalam perkembangan politiknya wilayah kekuasaan Kediri masih
sama seperti kekuasaan Raja Airlangga, dan raja-rajanya banyak yang dikenal
dalam sejarah karena memiliki lencana atau lambang tersendiri.Semua peninggalan
sejarah-sejarah tersebut diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak
tentang perkembangan Kerajaan Kediri dalam berbagai aspek kehidupan
0 comments:
Posting Komentar